Metodologi
Metodologi
Ada satu diskusi yang diawali berbisik bisik, hingga akhirnya menerikkan urat leher, mengeluarkan data, jurnal, prakteknya dan pada akhirnya; kami saling paham, walau tak setuju.
Yang kami bicarakan Studi yang saya terapkan; Studi Autoetnografi. Langkah penelitian ekstrim dari studi Etnografi. Jika etnografi adalah pandangan peneliti setelah menjadi bagian dari masyarakat yang diteliti. Sedang autoetnografi adalah studi tentang peneliti itu sendiri ketika berhadapan dengan masyarakat.
Ibaratnya, jika kualitatif meneliti bagaimana air dikolam itu dimanfaatkan, siapa yang memanfaatkan, seperti apa pemanfaatannya. Dan Kuantitatif bicara berapa banyak orang yang memanfaatkan, berapa yang memasaknya, berapa yang menjadikannya air akuarium.
Maka etnografi adalah menjadi bagian pengguna air, hingga bisa menggambarkan lebih dalam siapa mereka, mengapa mereka memerlukan air, apa yang mereka rasakan. Sedang autoetnografi, mengungkap siapa, bagaimana, mengapa, apa saja yang dihadapi si peneliti saat bersama para pengguna air, bahkan menyelami kolam, melihat dasar kolam, merenungi, mengecap, dan kemudian menguji keabsahan datanya, lalu membuat kesimpulan.
Di meja bundar itu, kami bertiga. Seorang praktisi dari Aceh, seorang lagi pejabat di kementerian.
Pertama, studi Autoetnografi adalah barang asing dalam penelitian. Kami sepakat. Maka pertanyaannya; Bagaimana mungkin kita menerapkan sesuatu yang asing, kemudian berharap orang secara menerimanya? Begitu diskusi itu bermula.
Pengalaman yang ditulis oleh Korban Konflik di Mongolia, India atau Aceh bahkan, adalah Autoetnografi jawab saya. Tapi itu catatan harian anggap saja, kata mereka. Masalahnya kata saya, mereka menuliskannya dengan kerangka ilmiah, dipublikasikan pada terbitan ilmiah. Maka itu bukan lagi "sekedar" catatan harian.
Maka tanya saya, mengapa sebuah Studi yang umum sekarang ini bisa diterima? Karena data - datanya bisa diverifikasikan? Bagaimana cara verifikasinya? Karena kita memenuhi syarat syaratnya. Bagaimana kalau data yang saya kumpulkan lewat Studi Autoetnografi itu saya verifikasi dengan syarat - syarat yang sama?
Masalahnya, kata beliau pejabat, siapa yang menjamin kamu jujur? Data jawab saya. Data bisa kamu mainkan bukan? Saya berhenti menjawab, betul juga. Tapi saya juga punya sanggahan lain; hasil wawancara dan quosioner. Tapi sama saja.
Kami kemudian melanjutkan pada letupan berikutnya. Bisakah studi itu diterapkan oleh orang lain pada penelitian lain dengan tema yang lain?
Sekali lagi saya jawab, saya sedang melakukannya, berulang kali pada tema tema lain. Saya juga kan mengambil penelitian terdahulu dari tulisan ilmiah lain dengan metode studi yang sama.
Jawaban saya sebenarnya belum menjawab keraguan saya sendiri, karena metodologinya betul sudah diverifikasi, tapi belum memadai untuk berdiri mandiri dan disarankan pada orang lain.
Begitulah, sebuah Tesis pada dasarnya adalah ujung dari pola pola verifikasi pada data, kasus dan pengetahuan yang kita sebut Metodologi Penelitian. Persoalannya, apakah boleh orang membantah tesis kita dengan metodologi lain? Tentu saja boleh. Apalagi kalau metodologi kita menyendiri dan asing.
Kita hanya harus menguatkan epistemologinya. Hingga syarat kita itu bukan berdasar asumsi belaka. Bukan malah meminta orang memenuhi pola syarat yang kita bikin sendiri. Yang kalau syarat itu tak bisa dipenuhi, pengetahuan orang lain menjadi salah.
Kemudian kita bisa buktikan metodologi itu konsisten bila digunakan untuk penelitian yang lain. Seperti bisakah studi saya digunakan untuk mengganti ban dalam? Tentu tak bisa.
Yang saya tahu kemudian, kalau ban yang digunakan tak sebagus ban yang saya biasa pakai. Harusnya saya menerapkan syarat tahan lama sebelum nya, bukan cuma tergiur murahnya.