Ke Rumah Wak (Cerpen)



“Pulang mas?”

Rully gagap mengumpulkan remah kesadarannya; Ketapang, Pesawat, Bandara Ahmad Yani, Taksi dan sekarang liuk jalan gunung Pati. Ditariknya nafas, tanya itu belum segera berjawab, lengang, hanya dengung pendingin udara dan gemerisik radio mencari sinyal stasiun yang tiba – tiba hilang diantara hujan.

“ke rumah Wak pak” Rully memutus kesunyian itu. "Bapak" Rully baru teringat perbedaannya.

“pulang to?”

“ke rumah Wak... ” Rully menggantung akhir jawabannya, ‘Pulang’ jelas bukan jawabannya, namun ‘pergi’ juga bukanlah jawaban yang tepat. Andai tak hujan, Rully sudah membuka kaca jendela untuk menikmati wangi hutan dan dinginnya hawa anak gunung Ungaran ini. Namun ia terjebak dalam hujan yang semakin deras dan tanya sopan pemecah sunyi dari sopir yang sudah mulai masuk masa senja, seperti Wak.

“Masih berapa lama pak?”

“Kalau rumahnya di pasar seperti kata mas, ya sekitar 20 menitan lagi, setelah belokan ini, kita menanjak, Pasar Boja tak jauh lagi”

“hanya satu pasarnya kan?”

“Boja hanya kecamatan, ya satu itu”

“oooh”

“sudah lama ndak pulang mas?”

“saya tak pernah ke sini Pak”

“Ha... lha rumah Wak mas disini, tapi ndak pernah ke sini, piye to?”

Tampaknya hujan menyimak percakapan dalam taksi yang masih melaju dalam derasnya itu, dan hujan menyingkir, awan gelap menyibak diri, gulungan emas awan senja marak menjadi raja di penghujung hari. Rully cepat memutar tuas membuka kaca, dihirupnya dalam – dalam bau tanah basah dan aroma bunga durian yang sedang mekar, sesekali pohon randu melingkupkan rindangnya pada jalan meliuk yang dilalui taksi Rully. Sopir taksi kemudian paham, tak akan ada jawaban dari penumpangnya, tak akan ada percakapan lanjutan. Boja telah tampak di penghujung pandangan, sekali belok kanan lagi, mereka telah sampai ke kota itu.

***



“Harusnya, sejak tak ada lagi kabar berita dariku, segala hak perwalian adikmu jatuh kepadamu” uban telah meliput habis bagian rambut sosok Wak dihadapannya, Rully mengingat rambut putih itu dahulu hitam mengkilat dilumur minyak beraroma khas santalia. Matahari hanya sekejap marak jadi raja, gulita malam segera datang melibas waktu dengan rintik hujan yang belum henti sejak tetes pertamanya tadi. Sejenak mata mereka beradu pandang di beranda rumah, lantas untuk waktu yang lama, mata Rully tak lekang dari air selokan yang meluap ke jalanan menurun membuat badan jalan menjadi sungai berarus deras seketika.

“Kalau niat Wak memang begitu, ingin menghilang begitu saja dari kehidupan kami, Wak tak perlu mencantumkan alamat lengkap pada surat terakhir Wak pada mamak” Rully mengambil amplop disaku jaket dan meletakkannya di atas meja.

“Wak tahu, amplop ini disimpan Mamak sampai hari – hari terakhirnya?”

Amplop berwarna putih yang telah menguning dimakan gegat waktu itu tak dijamah Wak Rully, orang tua itu hanya melirik, sembari mengusap lekukan tongkatnya ia berusaha mengingat rupa petugas loket Pos di Kendal yang mengharuskannya menulis alamat lengkap pengirim, karena alamat tujuan di Ketapang bisa jadi tak bisa ditemukan.

“Berapa tahun?”

“Dua Puluh”

“Selama itu?”

“Dan Wak tak sadar betapa menderitanya ibu, kami, aku dan Rilla, sepuluh tahun pertama dari dupa puluh tahun itu?” kali ini mata Rully yang telah merah ditatapkannya langsung pada mata Waknya, lelaki tua itu mendengus, matanya dilemparkan pada hujan yang belum lagi nampak akan berhenti.

“Setiap hari Wak, setiap hari, orang – orang datang meminta pertanggung jawaban Wak akan barang yang ikut tenggelam bersama Kejora”

“Maafkan Wak”

“Harusnya Wak bersama kami waktu itu”

“Wak takut masuk penjara, membuat malu kalian”

“Dengan meninggalkan kami? Membiarkan kami menanggung perasaan ditinggalkan oleh seorang…Wak?” Suara Rully tiba tiba terbata, namun segera redam oleh hujan yang semakin deras menerpa genteng. Angin dingin menerpa keduanya, beranda rumah hampir basah, mereka berpindah ke dalam.

“Andai bukan keperluan perwalian Rilla...” kalimat itu tertahan, air mata Rully malah yang deras keluar.

“Maafkan Wak” sekali lagi kata itu keluar dari bibir Wak Rully, kali ini dengan nada gemetar dan ketukan keras tongkat ke lantai keramik rumahnya. Rully memandang keluar jendela berbingkai kayu mahoni, air semakin deras mengalir menuruni jalanan.

“Semua gara – gara Kejora tenggelam” Wak Rully berujar dalam isaknya.

“bukan karena Kejora, tapi karena Wak, kapal tenggelam bisa terjadi setiap hari, tapi Kapten Kapal lari?”

“sudahlah... Bagaimana Rilla?”

“Dia mendapat didikan yang baik dari Mamak”

“Mamak kalian memang perempuan melayu sejati”

“Dan Wak?”

“Sudah! Cukup kataku” Wak meninggi, Rully hendak menimpali jika saja tak ada suara batuk istri Wak yang tampak sengaja dikuatkan bagi Rully, menandakan malam ini harus segera berakhir bagi mereka berdua.

“Rilla akan menikah awal tahun depan”

“Wak harus hadir?”

“Wak walinya”

“Tak bisa kau wakilkan?”

“Kalau bisa tak akan kuhabiskan uang ke Boja”

“Kalau berwakil ke penghulu?”

“Kata mereka Wak harus ke KUA sini, suratnya akan kubawa pulang”

“kalau begitu akan Wak pikirkan”

***

Pagi sekali, selepas solat subuh, Wak Rully telah bersiap di beranda mengelap motor anak bungsunya, tiga buah dokar berjalan beriringan menuju pasar, Rully mengenakan jaket, Waknya minta antar sebelum memutuskan.

“Tak apa kita pinjam motor ini Wak? Atau biar kucari taksi”

“Boja? Taksi? Di Kendal ada, di Boja, kau perlu menunggu lama, naik dokar saja”

“Tak apa kalau begitu”

“Tak akan sampai ke tempat yang mau ku perlihatkan pada kau, pakai ini saja, Reloka tak akan marah, hari ini dia masuk petang”

Tanpa mengenakan helm kedua Wak dan anak itu mengendari motor matic menuruni lembah keluar Boja, lalu jalan menanjak, di persimpangan yang dikenali Rully menuju gunung Pati, Waknya meminta belok, jalannya lebih kecil, berkelok dan menanjak. Lantas jalan kampung, lalu menanjak lagi melewati sawah – sawah terassering yang sedang menanti panen, para petani berjalan menyusuri pematang, seorang menyapa, Wak Rully membalas. Bekas hujan tadi malam masih menyisakan genangan air dan lembab udara.

“Kau dulu senang sekali kalau Wak ajak ke kampung mamak”

“Sandai, kami  sepuluh tahun terakhir tinggal disana, menghindar dari penagih...” Rully tak melanjutkan ia tahu Waknya paham, lalu lengang, Rully memilih untuk menikmati pemandangan di kiri kanan jalan saja, sekali lagi Waknya bicara memberikan arahan di pertigaan, mereka masuk kampung di pegunungan.

“Seperti di darat Sandai kan?”

Rully tak menjawab, tapi ia mengakui bahwa pemandangan kampung di Leban ini sama seperti di perbukitan kampung halaman Mamak.

“Kalau aku rindu pada kalian, aku akan kemari…” suara Wak Rully tercekat, menarik nafas dan kemudian dia menyapu pandang pada istal kuda di puncak bukit “namun sejak tiga tahun lalu, tak pernah lagi aku ke sini, sudah asing” Wak Rully menyapa penduduk kampung yang duduk di beranda rumahnya.

“tiga tahun yang lalu Mamak meninggal” Wak Rully batuk, udara pagi ini terlalu lembab untuk dada rentanya. Motor mereka berhenti di depan gapura berhias tapal kuda raksasa.

“Tempat pemeliharaan kuda, kuda orang kaya” Wak Rully dengan nafas berat menjelaskan “sekarang semua sudah milik orang kaya, toko kecil milik orang kaya, pembuatan roti punya orang kaya, bukit – bukit, kebun karet, semua milik orang kaya, toko besar punya orang miskin bangkrut, perusahaan roti bangkrut, bukit, kebun karet, huh” lelaki tua itu tiba – tiba saja meledak, ia duduk di atas batu besar yang berdiri membatasi landai bukit dengan teras sawah. Rully mengikuti.

“Dan kau tau tentang kapal keluarga kita? Kejora? Itu harta Mamakmu yang dia titipkan pada Wak, untuk kau dan Rilla, dia juga tenggelam karena orang – orang kaya, mereka menumpuk beban berlebih dan Wak terlalu serakah untuk menolaknya”

Rully kali ini diam saja, segala kebun dan usaha Mamak hanya untuk menutup lobang yang ditinggalkan oleh keserakahan Wak itu. Kejora? Ah Kejora, kapal yang tenggelam dilamun badai di ujung karang laut Sungai Nanjung itu, Rully ingat pada pelayarannya yang pertama ke Semarang, ia ikut berlayar, Mamak yang sedang hamil besar juga ikut, dan Rilla lahir dalam pelayaran pulang, dalam Badai.

 “Bagaimana rupa Rilla?”

“Seperti Wak kata orang”

“Dan kau seperti mamak mu, alangkah bahagianya kalau aku tak lari”

“Sudahlah Wak, ikut saja aku pulang, nikahkan Rilla, ajak Ibu dan Reloka, aku yang biayai”

Matahari mulai terang, namun cahayanya tak cukup merembesi lembab udara, dingin masih menyelimut. Wak Rully, lelaki itu lantas berdiri, memegang pundak anaknya, goresan senyum menghias wajahnya, lalu batuk, kali ini batuk panjang.

“Mari pulang” katanya.

***



Reloka memeluk Rully, abang tirinya yang tengah menunduk dalam, para tamu telah pulang, sepi menggelayuti rangka rumah dari kayu Mahoni itu. Hujan tak lagi datang, paling tidak sampai tiga hari kemudian ketika Rully pamit pulang pada Reloka dan Ibu, istri Waknya.

“Maafkan kakak, tak seharusnya kakak datang kemari”

“Jangan meminta maaf Mas, Paru – paru Bapak memang sudah pada tahap kronis” Reloka memperjelas apa yang sejak tiga hari lalu dia katakan, Rully tak menjawab. Sekali lagi Rully berpamitan, Reloka memeluknya, Ibu, Istri Waknya meneteskan air mata, dipeluknya Rully, lantas ia berbisik;

“Terima kasih, maafkan ibu, Wakmu sudah pulang”

Ketapang, 4/1/2017


SELESAI

Postingan Populer