Opini: Tantangan Komunikasi Krisis di Ketapang oleh: Agus Kurniawan
Kematian seorang bayi berusia lima bulan di tengah perjalanan menuju Rumah Sakit Agoesdjam Ketapang akibat kondisi jalan yang rusak telah mengguncang publik. Insiden tragis ini tidak hanya menimbulkan simpati dan duka, tetapi juga memunculkan pertanyaan kritis mengenai tanggapan dan penanganan krisis oleh pemerintah daerah, terutama bagaimana komunikasi krisis dikelola oleh para pejabat Kabupaten Ketapang.
Dalam
menganalisis situasi ini, kita dapat menggunakan dua kerangka teori utama: komunikasi
kritis dan komunikasi politik.
Teori Komunikasi Kritis menyoroti bahwa komunikasi bukan sekadar alat penyampaian informasi, tetapi juga sarana kekuasaan dan kontrol. Dalam konteks ini, komunikasi krisis yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Ketapang dapat dilihat sebagai upaya untuk memanipulasi persepsi publik (dalam artian netral) yang telah terbentuk menyusul viralnya video itu.
Sedang Komunikasi
Politik membahas bagaimana pesan politik disusun dan disebarkan, serta
bagaimana pesan ini membentuk opini publik dan mempengaruhi kebijakan. Dalam
kasus ini, komunikasi politik dari para pejabat pemerintah seharusnya digunakan
untuk membangun kepercayaan publik melalui transparansi dan akuntabilitas.
Tulisan ini akan membawa kita untuk menganalisis tanggapan pejabat Pemkab Ketapang dalam insiden kematian yang memilukan itu. Sekretaris Daerah (Sekda) Ketapang, Alexander Wilyo, mengungkapkan empati dengan menyampaikan duka cita mendalam dan memberikan penjelasan medis mengenai kondisi bayi tersebut sebelum dirujuk. Dari perspektif komunikasi krisis, langkah ini merupakan bagian dari upaya untuk menunjukkan bahwa pemerintah peduli dan bertanggung jawab. Namun jangan lupakan bahwa dalam telaah kritis, empati yang ditampilkan dalam komunikasi krisis sering kali hanya menjadi alat untuk meredam kemarahan publik tanpa memberikan solusi yang konkret. Jangan sampai itu yang terjadi.
Sekda juga
meminta perhatian Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat terhadap perbaikan jalan
Ketapang-Kendawangan dan mengajak perusahaan sekitar untuk berkontribusi
melalui program CSR. Meskipun langkah ini terlihat baik, namun hal ini dapat dilihat sebagai upaya untuk memindahkan
tanggung jawab tanpa menyelesaikan masalah secara langsung. Publik skeptis
terhadap janji-janji perbaikan tanpa bukti nyata dan tindakan konkret.
Bupati dan Wakil Bupati Ketapang juga menyampaikan duka cita dan mengklaim telah melakukan berbagai upaya koordinasi dengan pihak terkait. Namun, tanpa hasil nyata seperti perbaikan jalan yang signifikan, tindakan mereka dapat dianggap sebagai lip service belaka. Dalam komunikasi kritis, ini adalah contoh bagaimana komunikasi yang tampaknya netral dan objektif, hanya sebuah komunikasi semata.
Kritik dari LSM dan masyarakat terkait minimnya kontribusi perusahaan besar terhadap perbaikan infrastruktur menunjukkan bahwa pemerintah daerah belum cukup tegas dalam menegakkan tanggung jawab sosial perusahaan. Dalam konteks komunikasi politik, ini mencerminkan kegagalan dalam menggunakan kekuatan politik untuk kepentingan publik.
Lalu bagaimana Membangun Kembali Kepercayaan Publik: Langkah
yang Harus Diambil
Dalam menghadapi krisis seperti ini, pemerintah daerah harus
belajar dari kesalahan dan memperbaiki pendekatan mereka terhadap komunikasi
krisis. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prioritas utama, dan ini
harus diwujudkan melalui tindakan nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Pemerintah perlu:
1. Meningkatkan Transparansi: Memberikan informasi yang
jelas dan jujur mengenai situasi dan langkah-langkah yang akan diambil.
2. Mengambil Tindakan Nyata: Segera memperbaiki jalan yang
rusak dan memastikan bahwa tragedi serupa tidak terulang.
3. Menggunakan Media Sosial: Memanfaatkan platform digital
untuk memberikan informasi real-time dan merespons keluhan publik dengan cepat.
Masyarakat Ketapang membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berbicara tetapi juga bertindak. Ketidakadilan struktural yang tercermin dalam insiden ini harus diatasi dengan kesadaran kritis dan tindakan nyata. Dengan memadukan teori komunikasi kritis dan politik, kita dapat memahami bahwa krisis ini bukan hanya masalah teknis tetapi juga persoalan kekuasaan dan kontrol. Sudah saatnya pemerintah daerah mengambil langkah nyata untuk memastikan keadilan dan kemanusiaan bagi semua warga.
*Agus Kurniawan adalah Editor in Chief Penerbit Forpeka, berlatar Pendidikan Ilmu Komunikasi Korporat
Sumber:
Kompas